Macau tak hanya sekadar Senando Square dan Venetian Resort, Macau punya Taipa dan Coloane , sisi lain yang tak kalah indahnya.
Kota Macau SAR
adalah kota khusus di bawah pemerintahan Republik Rakyat China. Macau terdiri
dari 3 wilayah yakni Semenanjung Macau (Macau Peninsula), Pulau Coloane dan
Taipa. Dahulu, ada selat antara Coloane dan Taipa. Namun oleh Sands Group
(pemilik Venetian Hotel) selat tersebut diuruk dan dijadikan lahan, dan dikenal
dengan nama Cotai (singkatan dari Coloane dan Taipa). Beruntung, saya sempat menikmati sisi lain Macau ini.
Villa Untuk Museum
Perjalanan dimulai dari Taipa. Di sini, ada satu tempat yang harus dikunjungi yakni Museu da Historia da Taipa e Coloane alias Museum Sejarah Taipa dan Coloane. Museum ini terdiri atas 4 bangunan yang dahulu merupakan villa yang didiami bangsa Portugis. Uniknya, tiap bangunan menyajikan hal yang berbeda. Ada yang berisi gambar dan display tentang sejarah Taipa dan Coloane, ada pula yang berisi furnitur asli yang dulu digunakan bangsa Portugis.
Selain informasi di dalam museum yang cukup informatif, bagian luar museum juga menarik untuk dijelajahi. Villa-villa yang dibangun tahun 1921 ini tak terlalu besar, namun memiliki jendela besar berwarna putih yang dibuat dua rangkap, dengan jalusi di bagian depan dan kaca di bagian dalam. Di depan rumah terdapat selasar dengan balustrade yang dipenuhi bunga-bunga indah. Sangat cantik, apalagi di depan museum ini ditanami dengan pohon besar yang rindang. Senang rasanya duduk di sini...
|
Salah satu sudut Museu de Historia Cantik!! |
Coloane Village yang Indah
Setelah puas, saya melanjutkan perjalanan ke Coloane. Tujuannya adalah Coloane Village, desa di tengah Pulau Colaone yang tenang dan tertata rapi. Guide menyarankan tempat ini karena menurutnya tempat ini adalah tempat yang cocok untuk melihat permukiman asli penduduk Macau.
|
salah satu sudut Coloane Village |
Di sini, saya masih dapat menemukan rumah-rumah berwarna pastel bergaya Portugis. Entah karena lahan yang tak terlalu luas atau karena ada alasan lainnya, rumah-rumah di sini ukurannya kecil dan hanya dipisahkan oleh gang kecil. Kalau dari segi ukuran, tak jauh berbeda dengan gang-gang di permukiman di Jakarta. Tapi kalau dari segi keindahan dan kerapihan, terasa jauh bedanya.
Di
tengah-tengah permukiman ini terdapat Kapel St. Francis Xavier, sebuah kapel
buatan tahun 1928 yang didedikasikan untuk St. Francis Xavier, seorang
misionaris yang sukses di Jepang dan meninggal tak jauh dari Makau. Di dalam
kapel ini dahulu bersemayam tulang tangan St. Francis Xavier, namun sekarang
tulang tersebut telah dipindahkan ke Sacred Art Museum.
|
St Francis Xavier |
Bangunan
kapel ini sungguh menarik. Bergaya Baroque dengan jendela berbentuk lengkung
dan sebuah menara lonceng mungil. Fasadnya diberi warna kuning dan putih, dengan kusen berwarna biru. Kabarnya, warna ini sudah digunakan sejak dulu kala.
Sayang, saya hanya punya waktu sebentar di sana. Andaikan saya kembali ke sana, pasti saya akan lebih mengeksplor desa indah ini.