BLOG TERBARU SAYA ADA DI WWW.JILBABBACKPACKER.COM

Monday, September 29, 2014

Coloane Village, Sisi Lain Macau

Macau tak hanya sekadar Senando Square dan Venetian Resort,  Macau punya Taipa dan Coloane , sisi lain yang tak kalah indahnya.

Kota Macau SAR adalah kota khusus di bawah pemerintahan Republik Rakyat China. Macau terdiri dari 3 wilayah yakni Semenanjung Macau (Macau Peninsula), Pulau Coloane dan Taipa. Dahulu, ada selat antara Coloane dan Taipa. Namun oleh Sands Group (pemilik Venetian Hotel) selat tersebut diuruk dan dijadikan lahan, dan dikenal dengan nama Cotai (singkatan dari Coloane dan Taipa). Beruntung, saya sempat menikmati sisi lain Macau ini.

Villa Untuk Museum

Perjalanan dimulai dari Taipa. Di sini, ada satu tempat yang harus dikunjungi yakni Museu da Historia da Taipa e Coloane alias Museum Sejarah Taipa dan Coloane. Museum ini terdiri atas 4 bangunan yang dahulu merupakan villa yang didiami bangsa Portugis. Uniknya, tiap bangunan menyajikan hal yang berbeda. Ada yang berisi gambar dan display tentang sejarah Taipa dan Coloane, ada pula yang berisi furnitur asli yang dulu digunakan bangsa Portugis.

Selain informasi di dalam museum yang cukup informatif, bagian luar museum juga menarik untuk dijelajahi. Villa-villa yang dibangun tahun 1921 ini tak terlalu besar, namun memiliki jendela besar berwarna putih yang dibuat dua rangkap, dengan jalusi di bagian depan dan kaca di bagian dalam. Di depan rumah terdapat selasar dengan balustrade yang dipenuhi bunga-bunga indah.  Sangat cantik, apalagi di depan museum ini ditanami dengan pohon besar yang rindang. Senang rasanya duduk di sini...

Salah satu sudut Museu de Historia Cantik!!

Coloane Village yang Indah

Setelah puas, saya melanjutkan perjalanan ke Coloane. Tujuannya adalah Coloane Village, desa di tengah Pulau Colaone yang tenang dan tertata rapi. Guide menyarankan tempat ini karena menurutnya tempat ini adalah tempat yang cocok untuk melihat permukiman asli penduduk Macau. 


salah satu sudut Coloane Village
Di sini, saya masih dapat menemukan rumah-rumah berwarna pastel bergaya Portugis. Entah karena lahan yang tak terlalu luas atau karena ada alasan lainnya, rumah-rumah di sini ukurannya kecil dan hanya dipisahkan oleh gang kecil. Kalau dari segi ukuran, tak jauh berbeda dengan gang-gang di permukiman di Jakarta. Tapi kalau dari segi keindahan dan kerapihan, terasa jauh bedanya.

Di tengah-tengah permukiman ini terdapat Kapel St. Francis Xavier, sebuah kapel buatan tahun 1928 yang didedikasikan untuk St. Francis Xavier, seorang misionaris yang sukses di Jepang dan meninggal tak jauh dari Makau. Di dalam kapel ini dahulu bersemayam tulang tangan St. Francis Xavier, namun sekarang tulang tersebut telah dipindahkan ke Sacred Art Museum.




St Francis Xavier


Bangunan kapel ini sungguh menarik. Bergaya Baroque dengan jendela berbentuk lengkung dan sebuah menara lonceng mungil. Fasadnya diberi warna kuning dan putih, dengan kusen berwarna biru. Kabarnya, warna ini sudah digunakan sejak dulu kala. 

Sayang, saya hanya punya waktu sebentar di sana. Andaikan saya kembali ke sana, pasti saya akan lebih mengeksplor desa indah ini. 






"Mengintip" Portugis di Macau


Lima tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Macau. Kunjungan ini boleh dibilang salah satu kunjungan favorit saya karena saya bisa menyaksikan sisa-sisa kebudayaan Portugis yang masih terjaga dengan baik di Macau. Hal inilah yang membuat saya selalu ingin kembali dan kembali ke Macau.

Kasino dan judi. Dua kata itulah yang melekat di benak banyak orang ketika mendengar kata Macau. Begitu pun saya, ketika diajak mengunjungi kota ini 5 tahun lalu. Ternyata pikiran saya salah, kota kecil yang luasnya hanya 29,2 km2 ini memiliki potensi wisata arsitektur yang cukup menarik.

Merujuk pada literatur yang saya baca, Macau adalah sebuah kota yang bernaung di bawah pemerintahan Republik Rakyat Cina. Di tahun 1557, pemerintah Cina menghadiahkan Macau kepada Portugis, sebagai imbalan atas jasa Portugis membasmi bajak laut di perairan Cina. Tahun 1999, Macau bersama dengan Hongkong dikembalikan lagi ke Republik Rakyat Cina. Seperti halnya Hongkong, Macau mendapat kewenangan untuk mengatur sendiri daerahnya, sehingga ditambahi embel-embel Special Administration Region (SAR).


Nah, 442 tahun menjadi koloni Portugis menyebabkan budaya Portugis amat merasuk ke dalam kehidupan warga Macau. Selain nama jalan, nama orang, dan nama bangunan yang masih menggunakan nama-nama berbau Portugis, bangunan-bangunan yang ada di Macau kebanyakan bergaya Eropa. Sungguh indah. Saya bahkan tak merasa berada di salah satu bagian Cina!

Untungnya, warga Macau termasuk orang-orang yang mencintai sejarahnya. Meskipun banyak hotel-hotel besar dengan desain-desain baru bermunculan, bangunan-bangunan lama peninggalan Portugis masih tetap dirawat dan dilestarikan. Tak nampak satu pun bangunan yang terbengkalai, semuanya bersih dan indah.

Menelusuri Senado Square
Senado Square adalah salah satu tempat yang tepat untuk mengeksplorasi bangunan bergaya Eropa. Di sana banyak sekali bangunan yang dapat dinikmati, salah satunya adalah Leal Senado Building. Bangunan yang dikenal juga dengan nama Instituto Para Os Assumptos Citios E Municipal ini terletak persis di seberang Senado Square. Bangunan abu-abu bergaya neo klasik ini dahulu adalah tempat pertemuan pejabat-pejabat. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai pusat sejarah Macau dan pusat pelayanan publik bagi warga Macau. 

Courtyard Leal Senado Building. Cantik, ya?
Keramik jadoel berwarna biru, yang ada di dalam Leal Senado. 

Yang paling menarik dari bangunan ini adalah courtyard yang konon idenya berasal dari courtyard yang biasa ada di rumah-rumah bergaya Cina. Dinding courtyard ini dihiasi dengan keramik khas Portugis yang berwarna biru putih. Cocok untuk tempat foto-foto!


Senado Square. Coba lihat paving block-nya. Indah kan?
Di sebelah kiri dan kanan Senado Square juga banyak terdapat bangunan menarik bergaya Portugis. Pencinta arsitektur seperti saya, rasanya tak bosan berlama-lama berada di sana. Semua bangunannya indah, semua tertata. Bahkan, paving block yang melapisi jalannya saja ditata dengan apik, yang membuat saya langsung jatuh cinta. 


Sudut lain Senado Square. Juga cantik ya...

Mengintip Gereja
Hal lain yang dapat dilakukan untuk melihat peninggalan budaya Portugis adalah dengan mengunjungi gereja. Ya, Macau banyak memiliki gereja yang indah. Yang paling terkenal adalah Gereja St. Paul, sebuah gereja bergaya campuran antara Barat dan Timur yang kini hanya tersisa bagian depannya saja. Gereja ini dulunya adalah bagian dari St. Paul Collage, sebuah universitas kristen yang didirikan bangsa Portugis ketika menginjakkan kaki di semenanjung Macau. Di tahun 1835, terjadi kebakaran hebat  yang membumihanguskan semua bagian universitas dan gereja, dan hanya menyisakan bagian depan saja. 

Walau hanya tersisa bagian depan saja, gereja ini tetap mempesona. Saya jadi membayangkan, bagaimana luar biasanya gereja ini saat masih utuh berdiri. 



Coba perhatikan detail bangunannya. Masih terjaga dengan baik.
Bagian belakang St Paul Church
Tak jauh dari reruntuhan St. Paul, terdapat Igreja Santo Dominicus, sebuah gereja katolik pertama di daratan China. Bangunan gereja ini amat menarik, dinding luarnya dicat dengan warna kuning, yang sangat kontras dengan kusennya yang berwarna hijau. Hebatnya, gereja ini masih dalam kondisi sangat baik walaupun di sekitar gereja terdapat toko-toko yang menjual berbagai barang bermerek.


Igreja Santo Dominicus

Bagian dalam Igreja Santo Dominicus

Egg Tart yang Melegenda
Peninggalan portugis lainnya yang masih ada di Macau adalah Egg Tart. Ya, karena mencicipi egg tart di Macau, saya jadi tergila-gila pada kue berbentuk bulat yang gurih dan renyah itu. Egg tart memang salah satu peninggalan Portugis yang jadi ikon Macau. Belum sah rasanya berkunjung ke sana tanpa mencicipi Egg Tart.

Ini dia egg tart yang yummy!
Area Senado Square dan sekitarnya adalah tempat yang paling pas untuk membeli egg tart. Atau kalau sempat, mampirlah ke Lord Stow’s Bakery yang ada di dekat Coloane Village. Konon, egg tart di sinilah yang asli, paling enak, dan paling popular.

Senado Square, Egg Tart, dan semua peninggalan Portugis, yang berpadu dengan budaya Cina menjadikan Macau sebagai destinasi favorit saya. Kalau diajak ke sana lagi, saya pasti langsung berkata iya!











Monday, September 22, 2014

One Day Tour in Dubai

Saya bangun pagi-pagi, supaya bisa mengunjungi tempat-tempat yang sudah ada di list saya. Tapi ternyata, sarapan di hotel baru disediakan jam 7.30 pagi. Terpaksa, saya mesti menunggu. Tak saya sangka, sarapan di hostel ini cukup melimpah. Saya langsung mengisi penuh perut saya, bahkan mencomot beberapa buah roti untuk bekal saya. :D

Makanannya banyaaak
Tujuan pertama saya adalah Dubai Marina. Saya sengaja menempatkan ini di urutan pertama karena letaknya yang cukup jauh dari hostel saya. Marina Dubai adalah pelabuhan kapal-kapal pesiar. Di sepanjang pelabuhan, terdapat jalan setapak yang enak untuk dilalui.

Sebenarnya, waktu yang tepat untuk berkunjung ke sini adalah di sore hari. Saat itu, di tepi marina banyak café yang enak untuk dinikmati sambil memandang yacht-yacht berseliweran. Di pagi hari, seperti yang saya datangi, hanya satu dua café yang buka, itupun dengan harga yang cukup lumayan.


Salah satu pedestrian di tepian Dubai Marina
Setelah puas, saya menuju Burj Beach, pantai di dekat Burj Al Arab , sekadar untuk berfoto di depan ikon Dubai itu. Hahaha…nggak mampu kalau mesti masuk ke hotel termahal di dunia itu.  Di sini saya bertemu dengan rombongan ibu-ibu asal Jakarta yang sedang berlibur di sini. Tapi sombongnya bukan main. Ketika saya tanya dari rombongan mana, mereka menjawab dengan rada pamer: rombongan arisan. Abis arisan di Eropa. Yaelah Buu…arisan di Eropa aja bangga. Saya, arisan di Ragunan, biasa aja.


Untuk menuju ke sana, saya menggunakan taksi. Lebih mahal dari naik metro memang, tapi saat itu sangat terik dan saya dikejar waktu. Jaraknya juga lumayan jauh dari stasiun Metro (Mall of Emirates). Saya lupa berapa harga taksinya, tapi masih dalam ukuran wajar.

Burj Al Arab dari kejauhan
Saya sempat mengobrol sebentar dengan supir yang berasal dari Pakistan.  Menurut ceritanya, ia sudah tinggal 5 tahun di sini. Katanya, standar hidup di Dubai memang mahal, tapi jauh lebih baik dari kehidupannya di Pakistan.  Ia juga bercerita, Dubai memang dipadati pekerja asing, mulai dari pekerja asal Amerika, Eropa, hingga pekerja asal India, Pakistan, dan Filifina. Memang, sepanjang perjalanan saya ini, saya lebih sering menjumpai pekerja asing. Itu sebabnya, rok mini dan baju tanpa lengan jadi pemandangan yang umum dijumpai di sini. 

Dari Burj Beach, saya kembali naik taksi ke stasiun Emirates Mall. Dari situ, saya meneruskan perjalanan ke Dubai Museum dengan menaiki metro dan turun di Al Fahidi Stasion. Lumayan jauh juga jarak antara stasiun dengan Museum, tapi di sepanjang jalan kita bisa melihat kehidupan asli Dubai, dengan pertokoan-pertokoan yang padat. Saya memang sengaja memilih lokasi ini sebagai lokasi terakhir saya di Dubai karena di sini, saya bisa melihat bentuk lain Dubai, di luar gedung-gedung megah yang menjulang.

Dubai Museum dibangun di bekas benteng, berbentuk segi empat dengan menara di 3 sudutnya. Dibangun dari batuan berwarna cokelat, yang merupakan batuan khas bangunan di daerah Arab. Konon, bangunan ini didirikan tahun 1787 dan merupakan bangunan tertua yang masih tersisa di Dubai. 

salah satu bagian dalam Museum Dubai


Untuk memasuki museum, hanya dikenakan biaya sebesar 5 AED.  Tak terlalu mahal, karena bagian dalam musem cukup menarik.  Di tengah museum terdapat courtyard besar yang berisi berbagai benda replika. Salah satunya replika rumah asli bangsa Arab.  Di basement juga terdapat patung-patung yang menggambarkan kehidupan sehari-hari bangsa Arab.

Tak jauh dari Dubai Museum terdapat Dubai Port. Pelabuhan lama ala Dubai. Sebenarnya ini tak ada dalam planning saya. Tapi salah seorang imigran asal Nigeria yang mengobrol dengan saya saat saya sedang ngaso di depan Museum merekomendasikannya. Katanya tempat itu punya perahu penyebrangan yang unik. Saya jadi tertarik.

Sebenarnya penerbangan saya hanya tinggal 3 jam lagi, tapi saya nekat. Dengan setengah berlari saya menuju pelabuhan lama Dubai, yang ada di tepian Dubai Creek. Tak jauh sebenarnya, tapi saya mesti melewati semacam pasar yang berisi karpet-karpet, pashmina, dan beraneka ragam souvenir yang memikat mata.

Pasar ini sebenarnya juga menarik, gedungnya terbuat dari bahan yang sama dengan museum, warnanya cokelat dengan bentuk khas Timur Tengah. Sangat berbeda dengan gedung pencakar langit Dubai yang rata-rata berwarna putih. Tapi, saya terburu-buru sehingga tak sempat mengeksplor banyak hal di sini.
Setelah berlari-lari, saya sampai di tepian sungai Dubai. Di sana berderet perahu-perahu kayu kecil, yang di dalamnya terdapat dua bilah papan panjang. Rupanya, papan panjang itu adalah tempat duduk penunmpang. Tak berbeda dengan di Indonesia sebenarnya. Tapi jika di Indonesia para penumpang saling berhadapan, di sini para penumpang duduk saling membelakangi.

Begini perahu khas Dubai

Duduknya punggung-punggungan
Untuk menyebrang dengan perahu ini, hanya dikenakan biaya sebesar 1 dirham. Tak mahal, karena ini memang angkutan sehari-hari warga Dubai. Saya pun langsung melompat ke salah satu perahu, duduk dengan tenang, dan kemudian menyadari kalau saya satu-satunya wanita di sana. Ya, semuanya laki-laki…

Perahu itu membawa saya ke seberang sungai, yang saya tak tahu lokasi persisnya. Saat melihat jam, saya panik, penerbangan tinggal 2,5 jam lagi. Alhasil, saya lari-lari lagi, mencari stasiun Metro terdekat. Capek karena ternyata lokasi metro tak sedekat yang saya kira.

Sayang, saya hanya punya waktu sebentar di Old Dubai ini. Padahal, ini tempat yang paling saya sukai di Dubai. 

Labels:

Nyasar di Dubai Mall



Dengan langkah setengah berlari, saya menuju Mal Dubai. Selain karena mengejar waktu pertunjukan air mancur,  saya takut ketinggalan kereta balik. Ya, kereta di dubai hanya beroperasi hingga 12.00.

Untuk menuju Mal of Dubai, saya harus turun di stasiun Dubai Mall. Dari situ, harus berjalan lagi selama kurang lebih 20 menit untuk mencapai pintu masuk Mal. Lagi-lagi, dengan membawa ransel, saya berlari. Di dekat pintu masuk mal, saya bertanya kepada petugas, di mana letak air mancur itu. Setelah menunjukkan arah dia melihat jam dan langsung berkata; “you must run faster than you did, hurry, hurry.” Gilaaa…

Alhasil, saya seperti orang yang sedang balap lari di dalam mal. Tapi, ketika saya sampai di danau buatan di depan Burj Khalifa, ternyata pertunjukannya belum dimulai. Kata petugas di sana, pertunjukannya mash setengah jam lagi. Oalaaah…#pingsan

Tepat pukul 10.30, pertunjukan dimulai. Karena di brosur tertulis “the biggest water fountain show in the world” saya sudah berekspektasi tinggi. Ditambah lagi, usaha berlari-lari saya tadi. Tapi teryata, air mancurnya tak seindah yang saya bayangkan. Bagus sih, tapi masih di bawah ekspektasi saya. Karena itu, setelah air mancur selesai, saya bergegas kembali.

Namun, kembali ke stasiun bukan perkara yang mudah. Karena berlari-lari, saya tidak terlalu mengamati jalan yang tadi saya tempuh. Ditambah lagi, ini mal yang sangat besar. Walaupun ada petunjuk di mana-mana, tapi tetap saja, saya nyasar. Ketika bertanya kepada petugas, lagi-lagi sambil melihat jam dia berkata “run, run, last train is about 15 minutes.”

Yak, mesti lari lagi….

Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Kata orang yang saya tanyai di dalam kereta, kemungkinan kereta sambungan saya untuk menuju penginapan sudah tidak ada. Dari Mal Dubai, saya memang harus kembali ke arah bandara, turun di Union, lalu menaiki kereta jalur hijau. Untung, kereta hijau masih ada. Lagi-lagi, itu kereta terakhir. Ufff, thanks God.

Tapi ternyata, perjalanan saya belum berakhir. Saya lupa menanyakan ke UEA Youth hostel, di stasiun mana saya harus turun dan ke arah mana saya harus berjalan. Saya hanya ingat, dia berada di antara stasiun Stadium dan Al Nahda.  Akhirnya saya memutuskan untuk turun di Al Nahda. Saya akan tanya orang saja, pikir saya. 

Begitu sampai, stasiun kosong melompong. Tak ada satu orang pun yang bisa ditanyai. Alhasil, saya bengong di bawah stasiun. Untung tak lama, ada seorang pekerja asal Filifina, yang sedang menunggu pacarnya. Dia menelpon hostel, menanyakan di mana letak hostel sebenarnya. Pacarnya, yang kemudian datang dengan mobil mewah, berinisiatif mengantar saya. Awalnya saya menolak, takut sebenarnya. Tapi karena sudah larut malam, dan tak ada pilihan lain, saya menerima. Ternyata, letak hotel cukup jauh dari stasiun tempat saya turun. Lebih dekat ke stasiun Stadium, hanya berjarak kurang dari 100m. Untung diantar, untung enggak diculik :D

Tapi, Dubai ini termasuk kota yang aman, bagi wanita sekalipun. Belum pernah ada cerita mengenai kekerasan atau kriminalitas terhadap turis wanita di sini.

Kamar saya di Dubai Youth Hostel

Ini dia tampilan depan hostel

Oya, saya menginap di UEA Youth Hostel, saya mendapat harga 30 dolar semalam untuk female dorm. 

Tes Bahasa Arab di Dubai

Saya sampai di Dubai malam hari.  Tepat waktu sebenarnya, tapi pesawat mendarat cukup jauh dari gedung terminal.  Saya mesti naik bus cukup lama, kurang lebih setengah jam, untuk menuju gedung terminal. Antrian imigrasi tak terlalu panjang, loketnya pun banyak. Saya memilih petugas yang paling ganteng di antara semua petugas yang ganteng-ganteng. Hehehe..dibanding Arab Saudi, petugas di sini lebih ganteng dan lebih ramah.

Petugas ganteng ini hanya melihat paspor saya sekilas, sama sekali tak menanyakan soal visa. Dia malah berkata “Muslimah, speak Arabic?” 

Saya bilang, saya hanya bisa sedikit saja karena itu bukan bahasa utama saya. Eh, dia malah menanyai saya dalam bahasa Arab, sambil bilang “if you can answer me in Arabic, I’ll stamp your passport.” Haiyaah Mas, bilang aja mo kenalan…

Untung, dia cuma nanya nama dan asal saya. Gampang itu maah (belagu). Heheh..ternyata, ilmu bahasa Arab yang saya dapatkan waktu sekolah dulu berguna juga.

Selepas imigrasi, saya langsung berlari sekencang-kencangnya. Menurut jadwal yang ada di kepala saya, malam ini saya mestinya menuju ke penginapan, lalu pergi ke Mal Dubai untuk melihat dancing fountain yang terkenal itu. Karena waktu saya sangat mepet, saya akhirnya langsung menuju ke Mal Dubai, tanpa mampir ke penginapan dulu.

Jarak antara bandara ke Mal Dubai cukup jauh ternyata. Butuh kira-kira setengah jam ke sana, dengan menggunakan metro.  Metro adalah transportasi utama di Dubai. Metro ini seperti monorail, ada yang berada di bawah tanah, ada yang di atas tanah.

Untuk menaiki Metro, kita wajib membeli tiket yang disebut NolCard. Ada berbagai jenis Nol Card, namun untuk turis disarankan membeli Nol Card Red yang berwarna merah.  Nol Card ini bentuknya seperti kertas, namun dapat diisi ulang untuk 10 kali perjalanan.

Jalur Dubai Metro. Modern dan keren!!
Berbeda dengan MRT di Singapura atau Malaysia yang harganya tergantung jarak tempuh, harga tiket di sini tergantung zona.  Kalau daerah asal dan tujuan berada dalam satu zona tapi kurang dari 3km, harganya 2 AED, kalau ada dalam satu zona lebih dari 3km harganya 2,5 AED. Jika berbeda zona , harganya 4,5 zone. Jika melewati 2 zona, harganya 6,5 AED. Harga ini masih ditambah dengan harga kartu sebesar 2 AED.

Pusing memang di awal. Saya pun sempat kebingungan membaca peta zona. Akhirnya saya ambil jalan pintas, beli tiket di loket (bukan di mesin) dan bertanya pada satpam yang selalu berada di dekat loket. Beress…

Ga ada orang pribuminya, kan?

Oya, berbeda dengan kota-kota lain di dunia, kereta di Dubai ini dilengkapi dengan kelas gold, alias kelas yang lebih bagus. Kelas gold ini berada di gerbong paling depan dan punya jalur antrian khusus. Karena tak tahu, awalnya saya menaiki kelas ini (dengan karcis standar). Setelah saya tahu, saya merasa beruntung tadi sempat naik. Harganya dua kali lipat!! Hehehe..untung tak ada pemeriksaan ya :D

Tapi saya tak paham, kenapa juga ada kelas gold. Bedanya Cuma di bangku dan kaca. Kalau bangku di kelas biasa menghadap ke samping (seperti mikrolet), bangku di kelas gold menghadap ke depan. Kacanya pun lebih lebar. Tapi kan, sampainya sama aja…

Thursday, September 4, 2014

Naik Emirates, Norak-norak Bergembira



Karena belum pernah merasakan naik Emirates, saya jadi semangat. Norak juga sih… biasanya naik low cost airlines :D Eh, sebenarnya, saya dulu pernah naik ini ke Singapura. Masih kecil, waktu harga dolar masih di bawah Rp2.000. Entah umur berapa, yang jelas, boneka gajah kado dari Emirates masih tersimpan dengan baik. Hehehe..


Nah, berhubung saya sendiri, saya memilih kursi dekat jendela. Tujuannya sih agar enggak terganggu orang sebelah, kalau dia ingin bolak-balik ke kamar kecil. Eh, ternyata saya yang malah bolak balik ke kamar kecil. Alhasil, saya akhirnya bertukar tempat duduk dengan mbak-mbak di sebelah saya. Sungkan rasanya harus terus menerus meminta jalan.

Ada colokan, ada usb-nya pula!!

Mbak-mbak di sebelah saya itu adalah warga Kinabalu, yang ingin menghabiskan waktu liburnya di tempat adiknya di London. Awalnya dia mengira saya adalah warga Malaysia (seperti biasanya..), dan mengajak saya bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Setelah sekian lama, dia baru sadar, saya bukan orang Malaysia. Padahal, dari awal saya sudah bilang “saya tak cakap Melayu, Cik.”
Untuk pelayanan, Emirates cukup lumayan. Pramugaranya ramah, makanannya enak. Saya pernah naik Turkish Air. Pelayanannya tak terlalu baik, pramugarinya jutek, makanannya pun tak enak.

Makanannya enak!!

Oya, saat tiba waktu solat, akan ada pengumuman di layar soal posisi kabah. Hal yang (mungkin) tak akan dijumpai di maskapai lain.

PS: Sebelum memilih seat, saya mengintip tip di sini : http://www.seatguru.com/

Transit in Dubai

Dalam perjalanan saya ke Turki Mei kemarin, saya menyempatkan diri mampir di Dubai. Transit sebenarnya, karena saya menggunakan maskapai milik UEA, Emirates.

Saat membeli tiket, ada beberapa pilihan waktu transit di Dubai—yakni 3 jam, 7 jam, 17 jam dan 20 jam. Saya memilih waktu transit 17 jam agar bisa berkeliling Dubai dahulu. Saya pikir, karena waktu transit saya di atas 8 jam, saya akan mendapatkan fasilitas transit gratis di Dubai. Ternyata tidak. Fasilitas transit gratis itu memang berlaku bagi penerbangan yang waktu transitnya di atas 8 jam, asalkan tidak ada waktu transit yang lebih pendek. Nah, di kasus saya, ada waktu transit yang hanya 3 jam, makanya fasilitas itu tidak saya dapatkan.

Alhasil, saya harus mengurus visa sendiri dan mencari akomodasi sendiri. Deg-degan. Dubai bukan negara yang sulit ditembus turis asing, tapi barusan saja saya dapat kabar ada rekan miliser saya yang visa Dubainya ditolak, padahal dia menggunakan Emirates, paspornya penuh, dan tinggal di Eropa. Sementara, paspor saya “baru” alias masih kosong. Paspor lama saya, yang sudah terisi cukup banyak visa, hilang. Ya sudahlah, pikir saya. Whatever will be lah ya. Kalau visa tak berhasil, ya, saya terpaksa menghabiskan waktu 17 jam di bandara…

Empat hari sebelum keberangkatan, saya meng-apply visa via website Emirates. Mepet memang, tapi bagaimana lagi. Saya baru tahu tidak mendapat fasilitas itu sehari sebelumnya. Untung juga saya naik Emirates karena bagi penumpang Emirates, ada layanan visa online. Tinggal masuk ke webnya, masuk ke manage my booking, apply visa dan mengikuti petunjuknya. Gampang. Saya hanya perlu men-scan beberapa dokumen yang diminta seperti paspor, surat keterangan kerja, pas foto, dan sebagainya.

Alhamdulillah, dalam waktu hanya 3 jam,  visa saya di-approve. Kaget juga saya, tak menyangka secepat itu. Saya apply Selasa malam, Rabu pagi saya sudah terima imel yang menyatakan visa saya disetujui. Padahal, saya tidak menyertakan bukti akomodasi, karena saya lupa men-gattach-nya :D


Oya, visa biasanya jadi dalam waktu 3-4 hari kerja. Dan perlu diingat, hari libur mereka adalah hari Jumat, bukan hari Minggu.